- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cara mengatasi stres pada anak sekolah membutuhkan penanganan khusus terutama dari orangtuanya.
Karena semakin tinggi jenjang kelas si anak, maka beban pelajaran yang harus dipahami pun semakin bertambah.
Jaman sekarang, anak tidak hanya menyibukkan diri dengan satu atau dua kegiatan di sekolah dan rumah.
Melainkan, tenggelam dalam kegiatan padat layaknya orang dewasa.
Kegiatan tersebut antara lain, sekolah dari pagi sampai tengah hari, mengikuti kursus mata pelajaran UN, mengaji di kompleks masjid, mengerjakan PR dan belajar pada malam hari hingga mengikuti kursus ketrampilan di akhir pekan.
Hal ini jika tidak diimbangi dengan mental dan fisik yang sehat serta dukungan dari orangtua, anak bisa mengalami tekanan batin yang mengakibatkan stres.
Anak yang stress karena sekolah cenderung memiliki tingkat sensitivitas tinggi, seperti mudah marah, menangis, ngambek, menolak beraktivitas hingga menyebabkan anak mogok sekolah.
Orangtua bijak Indonesia, Anda perlu mengetahui ciri-ciri anak stress dan segera mencari cara untuk mengatasinya.
Karena jika Anda menganggap remeh kondisi-kondisi tersebut, maka akibatnya bisa fatal.
Ciri-ciri Anak Stress
Gejala stress pada anak yang diakibatkan sekolah bisa Anda lihat melalui perilakunya.
Beragam perilaku yang kami cantumkan di sini sering dianggap sepele oleh sebagian besar orangtua.
Bahkan, kita lebih sering menganggap kondisi ini sebagai kelelahan fisik semata.
Padahal jika Anda mau mencari latar belakang ‘sakit’ ini, Anda akan kaget saat mengetahui bahwa penyebabnya adalah pikiran yang tidak tenang.
1. Gangguan Psikosomatis
Psikosomatis terdiri atas dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma).
Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran mempengaruhi tubuh hingga memunculkan penyakit.
Orang yang mengalami gangguan psikosomatis merasakan sakit pada bagian tubuh tertentu.
Namun, saat diperiksa pihak medis, mereka menyatakan tidak menemukan satu penyakit pun.
Secara fisik, ia normal dan tidak memiliki gangguan apapun.
Nah, stress pada anak sekolah pun menimbulkan gangguan semacam ini.
Yang paling sering dikeluhkan oleh anak biasanya sakit pada bagian pencernaan, mual, muntah, tidak lancar saat BAB, pusing, mudah lelah dan sulit tidur.
Saat orangtua melihat anak mengalami sakit pada bagian pencernaan, biasanya kita menganggap itu adalah gejala maag atau penyakit lambung.
Sehingga, penanganan pertama yang kita berikan adalah memberikan obat maag dan meminta anak untuk menerapkan pola makan yang baik.
Dalam beberapa kasus hal itu cukup membantu.
Namun, saat anak merasa tertekan dengan materi pelajaran yang tak mampu ia kuasai, gangguan pencernaan itu kembali muncul.
Bukankah obat maag tidak mampu menyelesaikan masalah?
Karena penyebab gangguan pencernaan anak berasal dari pikirannya yang tidak tenang.
>> Referensi jalur pendidikan lain selain sekolah yakni HOMESCHOOLING. Jika Anda sedang menimbang, tapi bingung bagaimana cara memulai, menjalankan dan mengevaluasinya, bisa mengikuti Pelatihan Homeschooling dengan cara klik banner di bawah ini <<
2. Memiliki Sensitivitas Tinggi
Mereka yang tertekan secara psikis pasti memiliki sensitivitas tinggi.
Tidak hanya orang dewasa yang akan menunjukkan perilaku labil.
Dampak stress pada anak pun terlihat pada perilakunya yang labil, diantaranya:
- Mudah ngambek dan suka rewel
- Tidak bisa menerima kritikan
- Lebih suka menyendiri
- Mudah menangis
- Mogok sekolah, tidak mau berangkat kursus atau mengaji
Apabila kondisi di atas terjadi pada anak Anda, reaksi seperti apa yang akan Anda berikan?
Umumnya, orangtua akan mengeluh dan memarahi anak.
Apalagi jika ia berani mogok sekolah dan bermalas-malasan berangkat ngaji atau kursus. Kita akan menjadi geram dan memaksanya untuk tetap berangkat.
Bukannya menyelesaikan masalah, justru anak semakin down dan larut dalam masalahnya sendiri.
Ia sudah mengalami tekanan karena sekolah. Orangtua atau keluarga adalah satu-satunya harapan anak.
Tapi, apa yang didapat setelah melapor kepada Anda dalam bentuk ‘sensitivitas tinggi’?
Bukan perhatian. Bukan kasih sayang. Bukan pula solusi.
Melainkan, amarah.
3. Performa Belajar Menurun
Apabila Anda menemukan performa belajar anak menurun yang ditunjukkan melalui nilai-nilai merahnya atau kurangnya antusiasme dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar, bagaimana reaksi Anda?
Ya, lagi-lagi Anda akan langsung menyalahkan anak.
Kebanyakan nonton TV sih, jadinya ya begini. Nilai-nilai kamu jelek semua. Untung masih naik kelas
dan . .
Mulai besok, kamu ikut kursus matematika. Supaya bisa dapat nilai memuaskan
Lagi-lagi, Anda hanya mengkhawatirkan prestasi akademis anak dan mengabaikan perasaannya.
4. Menjadi Pelaku atau Korban Bullying
Anak-anak yang merasa terbebani dengan tugas sekolah atau mendapati atmosfer kelas yang tidak menyenangkan serta hubungan dengan teman sekelas atau guru pendamping yang kurang baik bisa menjadi pelaku atau korban kekerasan.
Karena perasaannya mengenai sekolah diabaikan oleh orangtua, anak kemudian mencari pelampiasan dengan cara membully teman sekelasnya.
Sayangnya, cara yang digunakan anak ini masuk dalam frame negatif.
Sedangkan, anak yang tertutup akan merespon tekanan batinnya dalam bentuk diam.
Nah, diamnya ini akan dimanfaatkan oleh anak yang ‘berkuasa’ di kelas untuk dijadikan subyek bully.
Jadi, stress pada anak sekolah tidak hanya bisa menjadikan ia sebagai pelaku bullying, tapi juga bisa menjadikan anak sebagai korban.
Cara Mengatasi Stres pada Anak Sekolah
Karena anak hanyalah seorang anak.
Mereka belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk mengatasi masalah.
Itulah kenapa, mereka membutuhkan orangtuanya untuk membantu menyelesaikan masalah dan memberikan dukungan.
Cara mengatasi stres pada anak sekolah bisa Anda lakukan seperti berikut.
Langkah 1: Mengubah Pandangan Mengenai Prestasi Akademis
Tidak semua anak terlahir sebagai akademisi dan unggul dalam hal akademis.
Jadi, hindari menuntut anak supaya berprestasi.
Hindari menetapkan target untuk anak, apalagi membandingkan mereka dengan anak tetangga atau teman sekelas.
Terimalah anak Anda bersama dengan kelebihan dan kekurangannya.
Apabila ia gagal mendapatkan nilai yang baik, hindari untuk menyalahkan atau memarahinya.
Tapi, dekati dan rangkullah anak Anda. Tenangkan ia dan katakan padanya . .
Apa yang bisa ayah bantu?
Selama ini banyak orangtua menganggap prestasi akademis adalah segalanya.
Sehingga, membuat kita kecewa dan marah apabila anak tidak mampu menunjukkan prestasi gemilang.
Langkah 2: Menerapkan Sikap Terbuka
Tidak banyak anak yang mau curhat dengan orangtuanya.
Anak-anak menganggap orangtua tidak asyik untuk diajak diskusi.
Kenapa anak Anda bisa berpikir seperti ini?
Karena orangtua mudah menyalahkan dan menyudutkan anak tanpa mau mendengar penjelasan anak terlebih dahulu.
Saat anak mengungkapkan pendapatnya, apakah reaksi Anda seperti ini, “Hush! Anak kecil tahu apa?”
Berbeda dengan respon teman-temannya.
Teman sebaya anak akan antusias mendengarkan dan ikut nimbrung untuk cerita.
Sekarang, jelas bukan kenapa anak lebih suka curhat dengan temannya?
Tertutupnya pintu komunikasi tidak hanya disebabkan oleh orangtua yang malas mendengarkan anak, tapi juga karena orangtua malas menanyakan pendapat anak.
Pernahkah Anda bertanya . .
Tadi jajan apa di sekolah nak?
atau . .
Wah, kok wajahnya cemberut. Lagi kesel ya kak?
atau . .
Kakak sudah pulang. Kayanya happy gitu, emang ada apa?
atau . .
Gimana bekal yang mama bawain tadi? Kamu suka nggak?
Supaya anak mau terbuka kepada orangtua, biasakanlah menanyakan perasaan dan pendapat anak serta bersemangatlah dalam mendengarkan curhatnya.
Sikap terbuka ini akan membiasakan anak menceritakan masalahnya kepada Anda.
Langkah 3: Senantiasa Memberikan Motivasi
Saat anak menjalani kegiatan sekolah dan ia terlihat baik-baik saja, kita pun tak lagi memberikan motivasi padanya.
Orangtua malas memberikan dorongan dan kata-kata positif tiap kali anak berangkat atau pulang sekolah.
Yang lebih sering kita tanyakan adalah “Ada PR nggak?” atau “Jangan lupa kerjakan PRnya, baru pergi main” atau “Nanti sore ada jadwal les bahasa Inggris. Jangan sampai telat”
Well, ucapan kita hanya fokus pada akademis anak.
Bagaimana dengan perasaannya?
Bagaimana dengan pendapatnya tentang sekolah atau beragam kursus yang diikuti?
Sukakah ia atau muakkah ia?
Kenapa Anda abaikan tanda-tanda kelelahan yang ditunjukkan melalui sikap anak yang malas belajar?
Hindari untuk menyalahkan kemalasan itu.
Tugas Anda adalah memotivasi anak.
Berikanlah dorongan positif.
Curahkan perhatian dan kasih sayang Anda melalui pernyataan-pernyataan yang melegakan perasaan dan menenangkan pikiran anak.
Misalnya . .
Mama percaya kamu bisa
atau . .
Ayah bangga sama kamu
Saat kita melihat angka 3 atau 4 di kertas ulangan anak, apakah kita tetap harus mengungkapkan kalimat positif?
Tentu saja. Katakan padanya, “Wah, ini hasil belajarmu kemarin ya nak? Nggak apa-apa. Ibu yakin kamu bisa meraih nilai yang lebih baik. Sekarang, apa yang perlu ibu bantu?”
Langkah 4: Membentuk Kemandirian Anak
Masalah yang dihadapi anak di sekolah hingga membuatnya stres adalah kesempatan bagi Anda untuk membentuk sikap mandiri dalam dirinya.
Ajaklah anak berdiskusi guna membahas kendala-kendala yang ia hadapi di sekolah.
Biarkan anak lebih banyak bicara.
Anda cukup mendengarkan dan menunjukkan antusiasme melalui tatapan mata penuh perhatian, belaian yang menenangkan dan anggukan sebagai tanda mengerti.
Saat anak selesai bicara, itulah kesempatan Anda untuk berpendapat.
Langkah 5: Menemui Ahlinya
Dengan mengikuti langkah 1 sampai dengan 4 secara runtut, beban anak Anda akan mulai terangkat.
Jangan berharap bahwa perubahan sikap anak akan berlangsung dalam waktu 1 atau 2 hari.
Anda perlu bersabar dan konsisten membiasakan perilaku yang baik.
Namun, apabila dalam waktu 2 bulan sikap anak yang stress karena sekolah ini semakin menjadi dan mempengaruhi kesehariannya, Anda perlu mengajak anak mengunjungi psikolog atau aktivis parenting.
Mereka adalah orang-orang ahli yang memiliki kemampuan khusus terkait cara mengatasi stres pada anak sekolah.
Komentar
Posting Komentar